Monday, November 21, 2011

Upaya Penanggulangan Korupsi


Perbuatan Korupsi tidak bisa dibiarkan berjalan begitu saja dan seakan menjadi sebuah fenomena di negeri ini, kalau suatu negara ingin mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa dan menjadi subur dan seakan-akan perbuatan korupsi itu sah-sah saja dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab.

Disini ada beberapa upaya atau jalan untuk Penanggulangan Korupsi yang ditawarkan para ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi dan pandangan.

Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah dalam menanggulangi korupsi adalah sebagai berikut :

a. Membenarkan transaksi yang dulunya dilarang dengan menentukan sejumlah pembayaran tertentu.

b. Membuat struktur yang baru yang mendasarkan bagaimana keputusan itu dibuat.

c. Melakukan perubahan atau perombakan organisasi yang dapat mempermudah masalah pengawasan atau monitoring dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi (perputaran) penugasan, wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.



d. Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi ? dengan jalan meningkatkan ancaman dengan sanksi yang berat.

e. Korupsi adalah masalah nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi dibatasi, tetapi memang harus ditekan sekecil mungkin, agar beban korupsi organisasional maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan adanya perubahan organisasi.


Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized) tindakan yang semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal dengan adanya pungutan resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka jalan untuk kesempatan korupsi harus segera ditutup, begitu halnya dengan struktur atau susunan organisasi haruslah membantu kearah pencegahan korupsi, misalnya tanggung jawab pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan melekat, dengan tidak lupa meningkatkan ancaman hukuman kepada pelaku pelakunya dengan sanksi yang berat sehingga timbul efek jera bagi pelaku.


Selanjutnya, Myrdal (dalam Lubis, 1987) memberi saran penanggulangan Korupsi yaitu agar pengaturan dan prosedur untuk keputusan-keputusan administratif yang menyangkut orang perorangan dan perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas, pengadaan pengawasan yang lebih keras, kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan kekuasaan hendaknya dikurangi sejauh mungkin, gaji pegawai yang rendah harus ditingkatkan dan kedudukan sosial ekonominya diperbaiki, lebih terjamin, satuan-satuan pengamanan termasuk polisi harus diperkuat, hukum pidana dan hukum atas pejabat-pejabat yang korupsi dapat lebih cepat diambil. Orang-orang yang menyogok pejabat-pejabat harus ditindak pula jangan sampai ada istilah dinegeri ini Humum seperti mata pisau, tajam kebawah tumpul keatas, artinya bila yang berbuat rakyat kecil maka seakan-akan hukum  berdirik dengan tegak dan sebaliknya yang berbuat pejabat tinggi hukum seakan tidak berdaya.

Persoalan korupsi beraneka ragam cara melihatnya, oleh karena itu cara pengkajiannya pun bermacam-macam pula. Korupsi tidak cukup ditinjau dari segi deduktif saja, melainkan perlu ditinaju dari segi induktifnya yaitu mulai melihat masalah praktisnya (practical problems), juga harus dilihat apa yang menyebabkan timbulnya perbuatan korupsi.


Kartono (1983) menyarankan penanggulangan perbuatan korupsi adalah sebagai berikut :

1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan tidak bersifat acuh tak acuh.

2. Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional diatas kepentingan pribadi atau golongan.

3. Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan  mulai dari diri sendiri, memberantas dan menindak korupsi .

4. Adanya sanksi yang tegas dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindakan  korupsi.

5. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya.

6. Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan
bukan berdasarkan sistem “ascription”. 

7. Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran
administrasi pemerintah tidak seperti sekarang yang pegawai negeri seringkali ikut menjadi Tim sukses bagi pasangan tertentu sehingga suatu saat jika pasangan yang diusungnya terpilih makai pegawai negeri tersebut mendapat tempat yang diinginkannya, kasus semacam ini tidak boleh dinegeri ini karena pegawai negeri sebagai aparatur pemerintah harus netral.

8. Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur dan berwibawa

9. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.

10. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.

Marmosudjono (Kompas, 1989) mengatakan bahwa dalam menanggulangi
korupsi, perlu sanksi malu bagi para Koruptor yaitu dengan menayangkan wajah para koruptor di televisi seperti yang pernah disiarkan oleh Statsiun Tv bebrapa bulan yang lalu karena menurutnya masuk penjara tidak dianggap sebagai hal yang memalukan lagi malah banyak penjara yang seperti Hotel dengan fasilitas yang serba lengkap.



Kesimpulan:
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya penanggulangan perbuatan korupsi adalah sebagai berikut :

a. Preventif.

1. Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi
pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara
milik pribadi atau golongan dan milik perusahaan atau milik negara.
2. Mengusahakan perbaikan penghasilan (pendapatan/gaji)  bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
3. Menumbuh kembangakan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya raya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan bangsa.
4. Bahwa teladan atau contoh dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.
5. Menumbuh kembangkan  pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan apabila mental para pejabat tidak kuat dan apabila didukung oleh kesempatan melakukan tindakan korupsi.
6. Hal yang tidak kalah pentingnya yaitu bagaimana menumbuh kembangankan “sense of belongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa perusahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.




b. Represif.

1. Perlu penayangan wajah koruptor di televisi.
2. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat.
3. Perlu adanya pembudayaan bahwa perilaku dan tindakan korupsi adalah tindakan yang buruk, tak bermoral, dan memalukan

Itu adalah upaya-upaya  penanggulan Korupsi yang saya dapat dari berbagai sumber dan dapat kita jadikan pegangan semoga bermanfaat khususnya saya pribadi dan pembaca pada umumnya.

Bila mana semua upaya tersebut dapat kita terapkan, insyaallah jumlah koruptor akan terus berkurang. Dan nantinanya, impian para pejuang kita yang ingin mewujudkan rakyat indonesia yang adil dan makmur, akan terwujud.

Namun, apabila dalam penyampaian/penyajian dokumen ini timbul kekurangan, maka maafkanlah saya. Karna, sesungguhnya yang baik itu datang atas hidayah-NYA, dan kesalahan ada pada mahluknya.


No comments:

Post a Comment