Thursday, January 19, 2012

Drama Perjuangan (Kartini Berdarah)

KARTINI BERDARAH

AMANATIA JUNDA .S

TOKOH:
  1. Kartika             : Seorang gadis berusia 17 tahun. Berambut panjang dikepang dua, berkacamata besar, seorang kutu buku, pendiam dan kurang pergaulan.
  1. Kartini              : Sahabat khayalan Kartika. Seorang wanita berusia sekitar 20 tahun-an, rambut bersanggul, memakai kebaya, wajah keibuan, seperti sosok pengganti ibu sekaligus sahabat bagi Kartika
  1. Friska  : Seorang gadis kaya. Berusia 17 tahun. Berambut ikal, cantik, ramping, tinggi. Ketua geng Perfume. Mempunyai sifat sombong, dan sewenang wenang.
  1. Lena                 : Seorang gadis berusia 16 tahun, anggota geng Perfume. Jangkung, berambut pendek. Agak tomboy. Sering main tangan.
  1. Windi               : Seorang gadis berusia 17 tahun, anggota geng Perfume. Seorang playgirl, centil, kurang pandai dalam pelajaran.
  1. Resnaga           : Sahabat Kartika sejak kecil. Seorang pemuda berusia 17 tahun. Tinggi sedang, berpenampilan sederhana. Ramah, setia, dan baik hati.
  1. Malvin  : Seorang idola sekolah, berusia 18 tahun, tampan, angkuh, berpenampilan keren. Kekasih Friska.
  1. Bu Sartika         : Ibu Kartika. Berusia sekitar 45 tahun, seorang wanita karier, janda, penuntut pada anak semata wayangnya, dan over protektif.
SETTING :

Panggung dibagi menjadi 2 bagian, kanan dan kiri. Bagian kanan merupakan kamar Kartika. Didominasi warna putih. Terdapat sebuah ranjang kayu kecil bersprei putih motif bunga bunga, sebuah meja belajar kayu dengan lampu duduk dan tumpukan buku biografi RA. Kartini, dan kursi putar putih. Keduanya menghadap ke penonton. Latar belakang adalah dinding kamar berwarna putih dengan gambar gambar RA Kartini ukuran A3. Di awal cerita akan ditambahkan sebuah cermin ukiran dari Jepara. Terbuat dari bingkai kayu berukir dengan cermin yang dapat membuka dan menutup, untuk tempat keluar masuk Kartini dari belakang panggung.



Bagian kiri, 2 kali lipat luasnya daripada kamar Kartika. Sebuah ruang kelas dengan bangku bangku kayu, papan tulis dan meja guru. Latar belakang dinding kelas bercat biru muda dengan jendela jendela besar dan gambar gambar pahlawan. Terdapat pintu di salah satu sisi dinding samping yang menghubungkan ke belakang panggung.
ADEGAN 1
Narator : (Mengutip salah satu penggalan surat Kartini yang tidak dipublikasikan. Diiringi suara dentingan gitar, pelan)
Daripada mati itu akan tumbuh kehidupan baru.
Kehidupan baru itu tiada dapat ditahan tahan, dan meskipun sekarang dapat juga ditahan-tahan, besoknya akan tumbuh juga dia, dan hidup makin lama makin kuat makin teguh.
Kamar Kartika
Kartika             : (memakai piyama, sedang membaca buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang disusun oleh Armijn Pane, di meja belajar. Airmuka serius, lampu duduk menyala.)
Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk dan suara panggilan untuk Kartika.
Bu Sartika        : Kartika? Kartika?! Buka pintunya! Hari masihlah sore, gemarkah kau  untuk tidur? Bukalah! Lekas!
Kartika             : Menghela napas panjang, kemudian menutup bukunya dan bangkit untuk membuka pintu.
Bu Sartika        : Astaga! Sesore ini kau sudah siap berpiyama? Bisakah kau tidak bermalas malasan saja? (Menatap Kartika tak percaya, tangannya membawa tas tangan kecil. Dibelakangnya 2 orang pesuruh menggotong sebuah benda setinggi 2 meter  berbungkus kertas cokelat.)
Kartika             : Ma, Kartika sedang baca buku, bukan sedang tidur. (Bela Kartika pelan, sambil mengangkat buku Habis Gelap Terbitlah Terang)
Bu Sartika        : Oh terserahlah, kau pasti membaca buku cerita. Itu sama saja dengan tidur. Sia-sia belaka. Pak, bawa masuk kesini (masuk ke dalam dan menunjuk dinding) Letakkan disini saja, ya bagus, kalian bisa keluar. Terimakasih.
Setelah 2 pesuruh tersebut keluar
Kartika             : Apa ini Ma? (Menghampiri benda tinggi bungkusan cokelat tersebut, penasaran)
Bu Sartika        : (Duduk di tepi ranjang sambil melepas sepatu hak tingginya) Mama bawakan oleh oleh untukmu. Bukalah, kau pasti suka. Itu dari Jepara. Asli! (Tersenyum sambil menunjuk bungkusan tersebut pada Kartika.)
Kartika             : lukisan RA Kartini, Ma?! (segera menyobek bungkusan tersebut dengan bersemangat).
Sartika             : Bukan, itu lebih bermanfaat buatmu.
Kartika             : (Tertegun mendapati sebuah bingkai kayu jati. Selebar setengah meter dan setinggi 2 meter. Sekeliling tepinya penuh dengan ukir ukiran berbentuk sulur sulur. Kaki cermin juga berukir berbentuk bonggol akar yang kokoh. Warna bingkai cokelat tua berpelitur mengkilat.)
Sartika             : Kenapa? Kau tak suka cermin itu?
Kartika             : Buat apa Ma? Tika rasa cermin ini terlalu besar untuk kamar ini. (berkata lirih sambil melirik bingkai kayu tersebut tanpa minat) Oh ya! (serunya mendadak) Kartika sedang baca buku RA Kartini, Ma… bagus sekali ceritanya. Mama mau baca? (menyodorkan buku Habis Gelap Terbitlah Terang dengan wajah berseri)
Bu Sartika        : Tika! Berhentilah baca buku buku konyol seperti ini! Sekarang bukan saatnya kau mengenang jasa Kartini. Tapi manfaatkanlah jasanya sebaik mungkin. Mana prestasi yang dapat kau berikan buat Mama? Kerjakan tugasmu dan belajarlah yang tekun. Harusnya kau bersyukur emansipasi menjadikanmu pelajar sampai sekarang dan mama seorang manager perusahaan besar.” (berucap lantang)
Kartika             :  Mama sama sekali tak berminat baca ini? (masih menyodorkan buku tersebut)
Sartika             : Ya.. ya..ya.. Mama akan baca jika mama sudah pulang dari dinas ke Bandung 2 minggu ini. Oke?
Kartika             : Tapi Mama kan baru saja pulang dari Semarang? (meletakkan buku itu kembali ke meja belajar)
Bu Sartika        : Mama mendadak ditugaskan atasan untuk mengurusi proyek yang baru. Sudahlah, mama capek. Mama hendak istirahat (bangkit, sambil menguap) Oh ya, cermin itu gunakan baik baik. Kau harus banyak merias diri, berlatih berbicara di depan umum dan menjadi seorang gadis teladan yang menyenangkan.
Kartika             : Maksud Mama?
Bu Sartika : Bulan depan ada pesta peresmian kantor baru Mama. Kau harus ikut, mama ingin mengenalkanmu dengan anak kolega mama. Malam Sayang.. (mengecup kening Kartika lalu beranjak keluar)
ADEGAN 2
Pagi hari. Sebuah kelas dengan bangku bangku yang masih kosong dan beberapa bungkus bekas jajan berserakan. Seorang pemuda tampan sedang duduk di meja guru smbil mendengarkan sebuah lagu dari Ipod. Seorang pemuda sederhana membawa sapu menghampirinya.
Resnaga           : Malvin, hari ini piketmu. (menyodorkan sapu)
Malvin : (Acuh, Kepalanya bergoyang goyang menikmati lagu)
Resnaga           : Malvin, hari ini piketmu! (berteriak lebih nyaring)
Malvin              : (Masih tetap acuh. Bahkan lebih keras menggoyang goyangkan kepalanya)
Kartika             : Biar aku saja, mana sapunya? (tiba-tiba muncul dari balik pintu)
Resnaga           : Mengapa kau begitu baik hati? Malvin tak pernah piket, kau tahu? (protes, agak keras menunjuk Malvin. Sedangkan Malvin melepas earphone)
Kartika             : Karena aku.. aku… (gugup, terbata-bata saat melihat Malvin menatapnya tajam)
Friska               : Karena dia memang seorang pembantu! Ha.. ha.. ha.. (tiba-tiba muncul dari balik pintu dengan suara yang nyaring. Dibelakang, Lena dan Windi mengikutiku sambil terkikik)
Windi               : Oh, sungguh malang.. udah kuper, culun, kacamata pantat botol, pembokat lagi! Hi..hi..hi..
Lena                 : Nih, sekalian ngepel lantai! (melempar kain lap yang ada di salah satu bangku)
Resanaga          : Kalian jangan seenaknya pada Kartika. (merebut sapu dari tangan Kartika) Malvin, piketlah! Apa kau tak malu kewajibanmu diambil alih Kartika?
Malvin              : Bah! Aku laki-laki. Menjijikkan sekali aku harus menyapu. Itu memang tugas perempuan! (Melempar sapu ke lantai) Ayo kita pergi! (menggandeng Friska, keluar diikuti Lena dan Windi yang menyibir ke arah Resnaga dan Kartika)
Resnaga           : (Mendesah panjang, menatap Kartika dengan iba) Aku tak habis pikir. Mengapa kau selalu mengerjakan tugas tugas Malvin dengan ringan tangan?
Kartika             : (terdiam beberapa saat) Res, apa kau tak pernah mendengar cinta itu butuh pengorbanan? (berujar pelan kemudian beranjak pergi)
Resanaga          : (Mengambil sapu, dan menyapu perlahan) Aku telah lama berkorban untukmu Kartika… Hanya saja kau tak pernah tahu. (bergumam lirih)

ADEGAN 3
Sore hari, Kamar Kartika…
Kartika masuk ke dalam kamar, masih mengenakan seragam sekolah. Menghampiri meja untuk meletakkan tas dan bukunya. Kemudian berjalan menghampiri cermin Jepara.
Kartika             : Indah nian kau cermin.. wahai benda antik dari Jepara. (mengelus ukir ukiran di tepian cermin, perlahan) Kau ingatkanku pada Ibu Kartini.. andaikan kau adalah penghubung masa ini ke masa lalu, akan kutemui Ibu Kartini.. akan kuceritakan semua jasanya telah mengubah zaman dan nasib perempuan. Namun aku masih terkukung disini.. layaknya Ibu kita dipingit dan tak kuasa menanggung senyap… (bernada sedih, meratap) Oh, betapa sunyinya hidupku. Tak pernah dicinta dan Malvin tak pernah menoleh padaku, haruskah aku mengubah diriku menjadi gadis gadis seperti geng Parfume? Andaikan, Ibu Kartini kemari… mungkin aku akan menjadi gadis paling beruntung di dunia.
Tiba-tiba lampu kamar padam, cahaya merah berkerlap kerlip, terdengar suara desauan angin.
Kartika : (tersentak kaget) Oh, ada apakah ini? (ketakutan, berlari naik ke atas ranjang)
Sesosok wanita muncul dari bingkai cermin Jepara, melangkah keluar. Menghampiri ranjang. Lampu kembali menyala terang dan suasana kembali normal.
Kartini              : Nduk, tenanglah… iki ibumu. (tersenyum lembut)
Kartika             : Siapa kau?! (semakin duduk menyudut di ranjang, memeluk kedua lututnya. Wajahnya luar biasa ketakutan)
Kartini              : Aku Kartini. Aku yang selama ini kau tuturkan di lembaran lembaran kertas buku harianmu. Aku yang selama ini kau rayakan setiap tanggal 21 April, sama dengan hari lahirmu juga kan, Nduk?
Kartika             : (Mulai tenang, mengendurkan pelukan lututnya.) Kau Kartini? Raden Ajeng Kartini? Benarkah? Bagaimana kau bisa tahu aku?
Kartini : (Tersenyum lebih ramah) Ya, aku Raden Ajeng Kartini. Namun, apalah arti sebuah status ningrat jika Raden Ajeng harus hidup di penjara sangkar emas? Dikelilingi 4 tembok serasa kebebasan adalah kebahagiaan terbesar.
Kartika             : Bagaimana Ibu bisa datang kemari? Sudikah ibu bersahabat dengan gadis memalukan seperti saya ini?
Kartini              : Oh, Nduk… tiada boleh kau berkata seperti itu.
Ingin benar hatiku berkenalan dengan seorang anak gadis modern, gadis yang berani, yang sanggup tegak sendiri, gadis yang aku sukai dengan hati jantungku. Anak gadis yang melalui jalan hidupnya dengan langkah tangkas, yang berdaya upaya bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk bangsa… Ibu datang dari jauh untuk mendengarkan segala kegundahan hatimu. Anggaplah aku sahabat penamu yang akhirnya berkunjung menengok seperti tatkala aku bersua dengan Nyonya Abendanon.
Kartika             : (Menghambur, memeluk Kartini, terisak isak) Ibu…! Kartika rindu sekali pada Ibu. Setiap malam Kartika diam diam membaca buku tentang Ibu. Berhati hati kalau Mama sampai menangkap basah Kartika, dan membuang segala yang Kartika koleksi tentang Ibu.
Kartini              : Sshh… (membelai rambut Kartika) Yakini, ibu juga merindukan sosok gadis berhati suci sepertimu. Tidurlah, besok kau sekolah bukan? Betapa beruntungnya dirimu yang hidup di dunia pencinta kebebasan. Bukankah begitu, Nduk?
Kartika             : (Mengangguk lemah) Ibu benar. Emansipasi menghapus diskriminasi untuk golongan kita. Dan ibu pasti senang melihat jasa ibu terlampau besar untuk Indonesia.
Kartini              : Aku tahu jalan yang hendak aku tempuh itu sukar, banyak duri dan onaknya dan lubang lubangnya. Jalan itu berbatu batu, berlekuk-lekuk, licin, jalan itu.. belum dirintis! Dan biarpun aku tiada beruntung sampai ke ujung jalan itu, meskipun patah di tengah jalan, aku akan mati dengan merasa bahagia, karena jalannya kini telah terbuka lebar.

ADEGAN 4

Sebuah kelas, terdengar suara gaduh dari 3 orang siswi. Friska, Lena, dan Windi.
Friska               : (Duduk di meja, airmuka cerah) Oh, kemarin malam adalah pesta terkeren sepanjang hidupku. Seperti mandi keringat aku ikut dugem di dancefloor. 4 kali aku bolak balik ganti pasangan. Sungguh menyenangkan!
Wndi                : Iya, tentu saja kau bolak balik ganti pasangan.. bukankah kita bertiga sungguh seksi tadi malam?
Friska               : Ya jelaslah. Apalagi kau kemarin mabuk berat Windi. Hei, tidak ingatkah kau? Kemarin kau membuka setengah bajumu dan bergoyang sungguh panas!
Windi               : Oh ya?!(Memekik girang) bagaimana reaksi cowok cowok itu?
Lena                 : Wow! Mata mereka seketika hijau! Dan langsung teler melihatmu!
Friska               : Air liur mereka sampai menetes di gelas cocktail.
Friska, Lena, Windi :tertawa bersama, nyaring. Kartika muncul dari balik pintu, tangannya mendekap tumpukan buku.
Lena                 : Hai, kau! Kesini…. Cepat! (menunjuk Kartika, tawa mereka menghilang. Wajah wajah centil berubah menjadi beringas)
Kartika berjalan menunduk, ketakutan.
Friska               : Jalan lelet amat! Rupanya hendak bersaing dengan kura-kura! Darimana saja kau, Kuper?! (Membentak)
Kartika             : (Tergagap) Da.. da.. ri.. P..per pustakaan
Lena                 : Hei! Ngomong yang tegas! (menepuk pipi Kartika)
Windi               : Iya nih, berminat ya jadi gadis sok bisu? Udah kuper, siapa yang mau repot repot melirikmu? Apalagi.. hi..hi..hi.. lihat deh, apa bawaannya?
Friska               : (meloncat turun dari meja, berdiri dan segera merebut buku buku yang didekap Kartika) Ya ampun! Hari gini… nggak salah baca, kau? Kartini? Memang masih zaman? Hm… (membaca satu persatu judul buku buku) ada RA Kartini, Kartini Sebuah Biografi, dan.. astaga! Judul jadul banget nih, Habis Gelap Terbitlah Terang. Eh, pernah dengar nggak kalian? (menoleh ke Windi dan Lena yang menggelengkan kepala bersamaan sambil mencibir)
Windi               : Yang aku tahu sih adanya Habis gelap total terbitlah tagihan PLN, belum bayar listrik kaleee…
Friska dan Lena: (tertawa terbahak, bersamaan) Ha.. ha.. ha
Kartika             : (Berusaha merebut buku yang dipegang Friska) Kembalikan! Kembalikan.. buku itu!
Friska               : Oh, Dear… Len, tahan dia! (memerintah keras. Segera Lena mengunci kedua lengan Kartika ke belakang punggungnya) Coba kita baca sekilas buku macam apa ini, Sobat. (Berdehem, dengan mimik sok serius, membuka salah satu halaman buku RA Kartini karangan Tashadi) Denger ya, salah satu kutipan surat Ibu kita tercinta “Selama ini hanya satu saja jalan terbuka bagi gadis Bumiputera akan menempuh hidup, ialah kawin.”
Friska, Lena, dan Windi            : Tertawa tergelak.
Lena                 : Hari gini.. kawin? Emang Siti Nurbaya?
Windi               : Wah, wah, wah pantas saja kau jadi anak kuper.. bacaanmu masih seputar zaman tempoe doeloe… parah!
Friska               : Oke, sebagai teman yang baik bagaimana kalo kami membantumu sembuh dari ke-kuper-an? (tanpa menunggu jawaban dari Kartika yang sibuk melepaskan diri dari cengkeraman Lena, kini Friska merobek buku tersebut)
Kraak… Kraak.. Kraak.. Segera lembaran buku Kartini berserakan di lantai kelas. Kemudian dengan bernafsu Friska dan Windi menginjak injaknya.
Kartika             : Kumohon hentikan…! Jangan disobek! Kumohon… (Kartika berontak kemudian Lena mengendorkan cengkeramannya. Seketika Kartika menyerang Friska untuk menghentikannya)
Friska               : Nih, kita nggak butuh baca ginian! (melempar buku buku Kartini ke lantai dan segera menginjaknya juga)
Kartika menunduk dan melindungi buku buku tersebut. Berkali kali Friska dan kedua teman temannya menendang Kartika.
Lena                 : Rasakan! (menendang keras) Dasar penyembah buku!
Malvin muncul dari balik pintu, menggeleng gelengkan kepala melihat Geng Parfume sedang menyiksa Kartika.
Malvin : Sudah hentikan Friska, Lena, Windi! (seru Malvin agak keras)
Friska               : Tapi Babe, anak ini rese’ sekali tadi, Huh! Masa’ aku sama anak anak tidak dicontekin pas ulangan Fisika? (menghentikan acara menyiksa lalu menghampiri Malvin dan mengeluh manja)
Malvin              : Salah kalian sendiri tidak belajar. Sekarang berhentilah main mainnya, katanya kita mau jalan-jalan?
Friska               : (mengangguk dan tersenyum manis) Ayo, kita tinggalkan dia!
Setelah keempat murid tadi pergi keluar dari kelas, Resnaga muncul dan keheranan melihat Kartika sedang memunguti sobekan kertas dan berusaha menyusunnya.
Resnaga           : Kartika? Kok belum pulang?
Kartika             : (Menoleh ke asal suara, memaksakan senyum) Oh, kau.. Res. Iya, aku habis dari perpus.
Resanaga          : Kau sedang apa? Hei, apa yang terjadi? (Menghampiri Kartika dan membantu memunguti buku buku yang berserakan)
Kartika             : Aku sedang melindungi harta bangsa. Sisa sisa pengabdian ibu kita.
Resnaga           : Ibu kita? Siapa?
Kartika             : (terbelalak, menatap Resnaga tak percaya) Tak tahukah kau? Raden Ajeng Kartini! Beliau Ibu kita semua bukan? Beliau sungguh baik hati. Beliau sangat keibuaan, belaiannya sangat lembut… ah, aku masih bisa merasakannya. (menyentuh rambutnya) Hm, kira-kira sekarang Ibu sedang apa ya?
Resnaga           : Kartika, kau baik baik saja kan? (menyentuh kening Kartika dengan lembut)
Kartika             : Apa maksudmu?! (menepis tangan Resnaga dengan kasar)
Resnaga           : Aku mengkhawatirkanmu. Lagipula… bukankah Kartini sudah tiada? Bagaimana bisa kau merasa belaiannya?
Kartika             :  Beliau masih hidup kok! Beliau sengaja datang dari jauh untuk menemaniku. Ah, sudahlah. Pasti kau tak kan percaya. Lebih baik aku pulang saja. Sampai jumpa. (Berdiri, memasukkan buku buku ke dalam tas dan kemudian beranjak pergi)
ADEGAN 5
Sore hari, kamar Kartika
Bu Sartika        : (Berdiri mondar mandir sambil sesekali menengok jam tangan yang melingkar di lengan kirinya) Oh, hari sudah sore. Kartika tak kunjung pulang, kemana saja anak itu? Tak tahukah dia kalau hari ini Keluarga Gana akan berkunjung kemari?
(tiba-tiba perhatiannya tertarik pada sebuah buku agenda bersampul merah di atas meja belajar) Diary? Kartika menulis Diary? Hm… boleh juga. Aku penasaran dengan isinya. (Duduk, dan mulai membaca buku agenda tersebut)
Tiba-tiba Kartika muncul dari balik pintu.
Kartika             : Mama? (melirik buku agenda yang langsung dikembalikan mamanya di atas meja) Mama baca diary-ku?! (agak keras)
Bu Sartika        : Iya. Apa tidak boleh? Kau adalah anak Mama. Urusan pribadimu otomatis urusan Mama juga.
Kartika             : Tapi Ma…
Bu Sartika        : Tapi apa? Mama tahu kamu sekarang sedang menyukai teman kelasmu. Siapa Malvin itu?
Kartika             : (Terdiam, menunduk)
Bu Sartika        : Dengarkan Mama Kartika. Kau harus jatuh cinta pada lelaki yang tepat! Jangan sampai kau mendapat lelaki brengsek seperti papamu. Turuti saja pilihan Mama. Kau pasti suka. Sekarang lekaslah mandi dan berdandan yang cantik. Keluarga Gana akan datang dan makan malam bersama kita.
Kartika             : (Mendongak) Siapa mereka Ma?
Bu Sartika        : Tentu saja calon keluarga barumu! (Keluar dari kamar Kartika)
Kartika             : (Terduduk lemas di ranjangnya. Memeluk buku RA Kartini. Mulai terisak sedih)
Tiba-tiba Kartini keluar dari bingkai cermin Jepara. Kemudian berjalan menghampiri Kartika, duduk di sampingnya dan membelai rambut Kartika dengan lembut.
Kartini              : Anakku, ceritakanlah semuanya pada Ibu, agar lapang dadamu.
Kartika             : Hiks… Ibu… saya hendak dijodohkan hiks.. oleh Mama saya. Saya nggak mau. Saya mencintai pemuda lain. (terisak semakin keras)
Kartini              :  Cinta, apakah yang kau ketahui tentang perkara cinta itu? Betapa kau akan mungkin sayang akan seorang laki laki dan seorang laki laki kasih akan kau, kalau kau tiada berkenalan bahkan yang seorang tiada boleh melihat yang lain? Aku berkehendak bebas, supaya aku boleh dapat berdiri sendiri, jangan bergantung kepada orang lain, supaya jangan… jangan sekali kali dipaksa kawin!
Kartika             : Ibu, mengapa hidup saya sangatlah sengsara? Saya tak pernah bahagia tak terkira terkeculai bertemu dengan ibu. Hanya ibu yang mengerti hati saya. Maafkan saya Bu, tidak bisa melindungi buku buku tentang ibu. Teman teman kelas saya menyobeknya tadi siang dan mereka selalu menyiksa saya.
Kartini              : Aduh, Tuhan, ya Tuhan! Sedih hati melihat kejahatan sebanyak ini di sekeliling diri, sedang diri tiada berdaya akan menjauhkannya! Sabar ya Nduk…
ADEGAN 6
Di kelas, suatu siang…
Malvin dan Friska tampak bermesra-mesraan di kelas yang kosong. Mereka saling menggoda, dan tertawa. Kemudian Friska bergelayut manja pada Malvin. Mereka berdua berpegangan tangan. Dari arah pintu, Kartini berjalan cepat sambil menunduk. Ia terperangah melihat pemandangan tak pantas di kelas. Seketika buku buku yang didekapnya jatuh berdebam ke lantai.
Malvin              : Oh kau Tik, aku kira guru. (refleks melepas genggaman tangannya dengan Friska)
Friska               : Hei, kuper! Ngapain kesini? Ganggu orang pacaran saja! (membentak dengan keras)
Kartika             : Ma.. maaf.. aku.. nggak tahu kalau kalian..
Friska               : Nggak tahu apa? Bilang saja iri! (Berkacak pinggang kemudian bangkit berjalan menghampiri Kartika)
Windi dan Lena masuk ke dalam kelas.
Lena                 : Apa ini? (Memungut buku agenda yang terjatuh bersama buku buku yang lain)
Kartika menoleh, terkejut.
Lena                 : Lihat! Ck.. ck.. ck.. tak kusangka! (Menunjukkan sebuah halaman dari agenda tersebut ke teman temannya. Sebuah tulisan dengan huruf besar besar berbunyi AKU CINTA MALVIN)
Friska               : (Mendelik marah) Kau cinta Malvin? Kau menyukai cowokku? Bisa-bisanya kau… Plak! (menampar Kartika dengan keras)
Malvin menghampiri mereka berdua. Kemudian mengambil alih agenda yang dipegang Lena dan tertawa terbahak bahak.
Malvin              : Wah wah wah, aku tak menyangka tipe cowokmu seperti aku Tika. Kiranya seperti Resnaga yang culun.
Lena, Windi dan Friska : (Ikut tertawa keras)
Malvin              : Kartika.. Kartika.. bercerminlah dulu sebelum kau menyukai seseorang! Kau itu SANGAT TIDAK PANTAS buatku yang kaya, tampan dan idola semua cewek! Maaf Kartika… lebih baik kau berhenti menulis namaku di diarymu, buang buang kertas saja. (Menghmapiri Lena dan meraih agenda tersebut. Dibolak baliknya dengan antusias)
Windi               : Iya, kau itu seperti pungguk merindukan bulan!
Lena                 : Bukan, tapi seperti langit dan bumi!
Friska               : Eh, salah lagi. Lebih mirip Kutu dan pangeran!
Malvin dan geng Parfume: (tertawa sangat keras)
Malvin :  Dasar gadis lugu. Ayo kita pergi! (Merangkul Friska yang tertesenyum sinis pada Kartika yang sedari tadi menunduk)
Lena dan Windi pun beranjak keluar mengikuti mereka.
ADEGAN 7
Kamar Kartika
Kartini  : (Berjalan mondar mandir, bergumam sendiri) Oh, anakku yang malang… aku tahu semua perbuatan keji yang dilakukan mereka! Seperti Belanda menjajah anak pribumi. Namun, pantaskah saudara menjajah saudara sendiri? Tiada satu pun jua yang boleh menyakiti Kartika.
Kartika              : (Muncul dari balik pintu) Aku pulang…
Kartini  : Masuklah Nduk. Ssh.. jangan berkata apa pun. Ibu tahu perasaanmu.
Kartika            : Bagaimana Ibu bisa tahu?
Kartini              : Apa kau lupa dengan tujuan ibu kemari? Setiap hari aku melihat lihat dunia masa sekarang yang sangat pesat peradabannya. Namun, aku iba hati ini tatkala aku menjumpai berbagai macam perempuan seperti mereka. Karena bukan barang yang indah indah saja yang menjadi terlihat olehku.
Kartini : Maksud ibu? Perempuan yang seperti apa?
Kartini              : (Menghela napas panjang sambil duduk di kursi) Apalah artinya perjuangan ibu selama ini? Emansifatie yang mendarah daging telah disalahgunakan.
Kratika             : (Duduk di tepi ranjang) Maksud Ibu? Kartika semakin tak mengerti. Jasa Ibu sungguhlah besar.
Kartini              : Namun mereka tak tahu bagaimana mengamalkannya! Ibu tak kan berjuang jika akhirnya mengetahui betapa mengerikan sikap perempuan masa ini. Mereka berjalan dengan busana ala kadarnya, seperti memang lebih mengasyikkan tuk telanjanng. Emansipasi juga telah mengubah mereka untuk terus mengejar pekerjaan dan menyiakan suami dan anak anak mereka. Pantaskah perempuan seperti itu? Mereka tiada boleh melupakan sama sekali adat dan norma. Oh, namun betapa memalukan mereka berjalan, bernapas, bertingkah layaknya peerempuan binal tak punya urat kemaluan! (suaranya sangat lantas dan penuh emosi)
Kartika             : Oh, ibu. Sungguh besar derita dan bebanmu. Namun, masih banyak perempuan di bumi Indonesia yang mempunyai akhlak mulia seperti Ibu.
Kartini : Ya, kau benar Anakku. Alangkah susahnya dan sedihnya akan patah rasanya hidupku. Jika semua yang kutuangkan dalam ratusan lembar surat dinodai oleh tinta yang lebih pekat. Namun aku tahu, diliteran tinta kami masih memiliki asa. Dan kau pikul cita citaku selanjutnya, kau emban dan kau simpan dalam sanubari terdalam. Engkau jiwa yang suci Nduk.. jangan sampai ternoda.
Kartika             : Ah, aku hanyalah gadis lemah, rapuh dan tak berdaya. Sia sia saja aku, jika orang yang kukasihi pun mengolokku.
Kartini              : Hapus airmatamu, sudah saatnya kau hapus noda yang mengotori halaman halaman kisah hidupmu.
ADEGAN 8

Sore hari, Ruang kelas yang kosong…

Windi               : (Berdiri membelakangi pintu masuk. Menelepon seseorang dengan suara yang sangat manja dan centil) Iya.. Sayang… aku habis ini tunggu kau di depan gerbang sekolah ya? Jangan ngaret lho! Awas! Nanti kita booking tempat yang biasanya saja. Iya, ngerti nggak sih maksudku? Aku lagi bokek nih, Om..
Tiba-tiba sosok hitam masuk ke dalam kelas. Sosok tersebut memakai jubah hitam panjang dan tudung yang melindungi wajahnya. Tangan kanannya memegang sebuah pisau tajam.
Windi               : Oke deh Sayang… sampai ketemu nanti (menutup pembicaraan, berbalik dan seketika berteriak tertahan)
Windi jatuh tersungkur di lantai kelas dengan darah membanjir dari perutnya.
ADEGAN 9
Kamar Kartika
Bu Sartika        : (Geleng geleng kepala sambil mengecek thermometer) Astaga Kartika! Badanmu panas sekali! Kau harus banyak beristirahat. Jangan baca buku buku cerita lagi. Pasti kau kecapekan.
Kartika             : (Membisu di balik selimut tebal)
Bu Sratika        : Kau harus makan yang banyak. Nanti Mama pesankan bubur ayam kalau lewat depan rumah.
Kartika             : (Masih membisu. Tangannya mendekap erat diary dan gambar RA Kartini)
Bu Sartika        : Oke, terserah kau saja. Ibu capek melihatmu akhir akhir ini seperti kehilangan gairah hidup. Tapi Ibu tak bisa menungguimu lebih lama. Ada meeting di kantor hari ini. Jadi, kalau ada apa apa kau hubungi Mama lewat telepon saja.
Kartika             : (Masih membisu. Tatapan matanya kosong ke depan)
Bu Sartika        : Sampai jumpa nanti malam Sayang… (mengecup dahi Kartika kemudian keluar)
ADEGAN 10
Pagi hari, Sebuah kelas yang kosong..
Masih sosok yang sama, memakai jubah hitam dan tudung. Duduk di salah satu bangku sambil menunduk. Beberapa saat kemudian Lena dan Friska masuk ke dalam kelas. Langkah mereka terhenti ketika menjumpai sosok berkerudung hitam duduk tak bergerak.
Friska               : Siapa kau?! (Berteriak nyaring, air mukanya mendadak berubah ketakutan)
Sosok itu masih tidak bergerak.
Lena                 : Fris.. apa jangan-jangan… Dia yang ngebunuh Windi? (Dengan nada takut bercampur ragu)
Friska               : Aku nggak tahu. Hei, jawab! Kau tuli ya? Kau siapa? Jangan bercanda! Ini nggak lucu!
Masih tak ada reaksi.
Lena                 : Oke, sebentar Fris.. jangan jangan dia orang gila yang ketiduran di kelas. Aku akan buka kerudungnya (Hendak berjalan menghampiri sosok tak bergerak tersebut)
Friska               : (Menahan lengan Lena) Jangan Len! Aku takut! Lebih baik kita lapor guru atau kepala sekolah.
Lena                 : Ya ampun Friska.. gini aja takut. Kau lupa aku sudah pegang sabuk hitam?
Friska               : Tapi… (ragu-ragu, airmukanya masih sangat cemas)
Lena                 : Sudah, diamlah disini.. (Lena berjalan dengan penuh waspada,  semakin mendekat ke sosok tersebut)
Lena sudah berdiri di depan bangku dimana sosok itu duduk tak bergerak. Tangannya terjulur hendak membuka tudung kepala sosok tersebuk. Namun, secepat kilat sosok itu bergerak, bangkit dan langsung menusukkan pisau yang sedari tadi dipegangnya di balik jubah,  ke perut Lena.
Friska               : AAAAAAAA…! (Memekik nyaring dan segera berlari keluar kelas)
ADEGAN 11
Kamar Kartika
Kartika masih sakit. Ia setengah berbaring di ranjang. Menulis sesuatu di agendanya.
Pintu membuka, Kartini masuk ke dalam kamar dan tersenyum melihat Kartika.
Kartika             : (Menoleh, kemudian membalas tersenyum, lemah) Ibu darimana saja?
Kartini              : Tidak begitu penting. Hanya menghapus noda. (Berjalan menghampiri Kartika dan memegang keningnya dengan lembut)
Kartika             : Itu apa? (Menunjuk bungkusan tas plastik hitam yang dibawa Kartini)
Kratini              : Oh, ini… tidak penting kok. Bagaimana keadaanmu Nduk? Mau ibu buatkan wedang jahe? Atau bubur? (sambil memasukkan bungkusan itu ke kolong ranjang.
Kartika             : Nggak perlu Bu. Saya sudah agak mendingan. Mungkin besok saya sudah diijinkan Mama masuk sekolah. Mmm.. Ibu terlihat letih. Ibu mau tidur di samping saya?
Kartini : (Mengangguk kalem) Ya, ibu sangat lelah. Bolehkah ibu tidur dekat dinding? Rasanya pasti dingin.
Kartika             : Tentu saja, dengan senang hati (bernada cerai, langsung bangkit menggati posisi tidurnya).

Kartini naik ke ranjang dan langsung tertidur lelap. Sedang Kartika masih sibuk menulis diary sambil sesekali memandang Kartini. Tiba-tiba penanya terjatuh ke lantai. Kartika bergegas turun dari ranjang, hendak memungut penanya. Namun, perhatian sejenak teralih saaat melihat bungkusan hitam milik Kartini. Dengan hati hati ditariknya keluar bungkusan tersebut dari kolong ranjang.
Kartika             : Hm.. apa yah ini? Ibu Kartini kemana saja sih seharian ini? Tumben juga bawa oleh oleh… (Membuka tas plastik tersebut. Ia menemukan jubah hitam dan sebilah pisau berlumuran darah. Kartika memegang benda benda tersebut dengan airmuka ketakutan. Ia bolak balik memandang Kartini yang masih tertidur membelakanginya ke benda benda tersebut) Untuk apa jubah dan pisau? Lantas ini darah siapa?
ADEGAN 12
Kelas
Tampak Malvin sedang menemani Friska yang sedang bercerita dengan ekspresi sedih. Resnaga duduk di sudut sedang menulis sesuatu.
Friska               : Windi dan Lena adalah sahabat sahabat terbaikku Vin. Aku nggak rela kalau kehilangan mereka. Apa salah mereka? Apa maksud pembunuh itu?
Malvin              : Tenanglah Fris.. masih ada aku kok. Setidaknya kau belum kehilangan Lena. Dia masih di rumah sakit. Aku juga nggak tahu salah mereka apa.
Friska               : Aku takut kalau… kalau… kalau  habis ini giliranku yang dibunuh.
Malvin              : Sst… jangan berkata begitu, sekarang kau aman kok. Sekolah sudah dijaga ketat oleh polisi.
Kartika masuk ke dalam kelas.
Kartika             : Pagi… (menyapa dengan pelan, datang dan keheranan melihat wajah wajah duka di kelas)
Malvin dan Friska bangkit dari duduk tanpa berkata apa pun pada Kartika mereka keluar.
Resnaga           : Tika, kau sakit apa? (Segera menghampiri Kartika, cemas)
Kartika             : Cuma demam biasa kok. Ada apaan sih? Kenapa anak anak mendadak aneh. Wajah mereka seperti penuh ketakutan dan kesedihan. (Meletakkan ranselnya dan duduk)
Resnaga           : Sekolah ini diteror. Ada 2 kasus pembunuhan selama 2 hari ini.
Kartika             : Pembunuhan?! Bagaimana bisa? (terbelalak kaget)
Resnaga           : Tika, Windi telah meninggal dengan sangat tragis. Dia ditusuk di kelas. Kemarin Lena dan Friska juga hendak dibunuh. Tapi, hanya Lena saja yang berhasil ditusuk. Keadaannya sekarang kritis di rumah sakit. Diperkirakan pembunuh keduanya sama.
Kartika             : Lantas siapa pembunuhnya?
Resnaga           : Entahlah. Polisi masih menyelidiki teror ini. Polisi hanya dapat keterangan dari Friska bahwa pembunuh itu memakai jubah daan tudung hitam. Wajahnya tak tampak. Dia membawa sebilah pisau.
Kartika             : Jubah hitam? Pisau, katamu? (Terdiam sejenak) Tidak… ini tidak mungkin.. (Menggelengkan kepala dengan tak percaya)
Resanaga          : Ada apa Kartika? Kau mengenal pembunuhnya? Kau tahu? Siapa?
Kartika             : Res… pembunuhnya.. pembunuhnya adalah Ibu Kartini. Aku harus menemuinya sekarang! (berdiri dan berlari dengan tergesa keluar kelas)
Resnaga           : Tik, tunggu! TIK! (Berteriak sambil mengacungkan Map Folder yang tertinggal di meja) Ada apa dengan anak itu? Akhir akhir ini dia tampak aneh. (Bergumam sendiri sambil membuka folder tersebut. Di dalamnya ada agenda milik Kartik) Hm, Diary Kartika. Kira-kira dia marah nggak yah kalau aku baca isinya? (Membuka diary tersebut. Kemudian ia menemukan sebuah kertas lecek yang terselip di salah satu halaman. Dahinya mengerut serius tatkala membacanya) Target Pembunuhan? (membaca judul di kertas tersebut)

ADEGAN 13
Siang hari, Kamar Kartika
Kartika             : Ibu, jujurlah padaku!
Kartini : Maksud Nduk Kartika? Ibu tak paham. (duduk di tepi ranjang. Airmukanya sangat kalem)
Kartika             : Apa… apa ibu yang membunuh teman temanku?
Kartini              : Temanmu? Teman siapa? Sejauh ini hanya ibulah temanmu Nduk..
Kartika             : Teman sekelas Tika Bu, Windi dan Lena!
Kartini              : (Tertawa dingin, melipat tangannya. Suara berubah dingin) Apa mereka bisa disebut teman? Setiap bertemu mereka menganiayamu, menyiksamu… tak tahukah kau ibu sangat menyayangimu, Nduk?
Kartika             : Jadi.. benar? Ibu adalah sosok berjubah hitam itu?! (berkata lirih tak percaya)
Kartini : Ya, aku memang yang merencanakan semuanya. Target pembunuhan selanjutnya Friska.
Kartika             : Tidak… tidak mungkin! (menggelengkan kepala kuat kuat)
Kartini              : Aku pembunuh! Kita pembunuh kaum perusak emansipasi!
Kartika             : NGGAK! Kartini yang aku kenal bukan seorang pembunuh! Kau bukan Ibu Kartini! Kartini tak kan mungkin membunuh.
Kartini              : Apa yang kau bicarakan? Aku Kartini! Aku melindungi dirimu dari apa pun yang kau benci!
Kartika             : Kau jahat! Pergi dari sini! Kembalilah ke duniamu! (Mendorong Kartini ke bingkai cermin)
Kartini              : (Tidak berusaha melawan) Terserah, kau akan menyesal Nduk… karena telah mengusirku. Api yang membersihkan api. Api itu juga yang menghancurkan kayu menjadi abu! Camkan itu! (menghilang dari balik cermin)
ADEGAN 14

Ruang Kelas…
Friska sedang duduk terdiam, wajahnya pucat dan sayu. Ketika Kartika muncul ia segera menegakkan badannya. Kartika datang dengan wajah tampak ekspresi. Ia menutup pintu kelas dan menguncinya.
Friska               : Ada urusan apa kau kesini? Enyahlah Kuper, aku sedang tak berselera mengolok olokmu!
Kartika             : Aku ingin memberimu hadiah yang paling indah… (Tersenyum dingin menghampiri Friska)
Friska               : Hadiah? (Tiba-tiba melihat pisau yang digenggam erat Kartika. Ia terbelalak) Kau mau membunuhku?!
Kartika             : Kalau iya, lantas kenapa? Kemarin kau lari, sekarang kau tak kan bisa lari lagi Friska cantik… (Berjalan semakin mendekat)
Friska               : (Berdiri merapat ke tembok) Jadi, kaulah sosok jubah hitam kemarin? Kau yang membunuh Windi kan?!Aku salah apa padamu?!
Kartika             : Kau tanya salah apa? Kau sangat bersalah! Ha…ha..ha..  Kau telah melukai Kartika, melukai Kartini, dan melukai Pertiwi!
Friska               : Aku nggak pernah lukain siapa pun.. pergi! Jangan sakiti aku!  TOLONG! TOLONG AKU!
Terdengar pintu digedor keras
Resnaga           : Kartika! Kartika! Buka pintunya!
Bu Sartika        : Tika! Ibu mohon buka pintunya!
Kartika             : (Terkejut, menoleh ke pintu yang masih tertutup) Pergi kalian dari sini! Aku Kartini! Aku akan membunuh wanita wanita terkutuk!
Terdengar suara keras. Pintu terdobrak. Resnaga, Bu Sartika dan Malvin masuk dengan airmuka tegang.
Resnaga           : Kartika lepaskan pisau itu! Kau bukan Kartini! Kau Tika, sahabatku sejak kecil!
Bu Sartika        : Kartika… maafkan Mama. Mama tak pernah tahu kau punya kepribadian ganda. Lepaskan jiwa jahatmu Nak
Malvin              : please Kartika… kumohon lepaskan Friska. Maafkan dia… maafkan aku juga.
Kartika             : Persetan kalian semua!!! (Menarik tubuh Friska lalu mencengkeram leher gadis tersebut. Ujung pisau menempel di kulit mulus Friska) Jangan berani mendekat!
Resnaga           : Kartika, sadarlah! Bangunlah Tik! Kau adalah Kartika sahabat terbaikku. Kau adalah gadis baik. Kau bukan pembunuh. Dan Kartini hanya kepribadian yang tak kau sadari saja Tika. Tenangkan hatimu Tika…
Kartika             : (Oleng, memegang tangannya. Mendadak ia merasa pusing. Cengkeramannya pada Friska mengendor, seketika Friska berhasil membebaskan diri dan berlari menghambur ke Malvin) Aku… aku… pembunuh. Aku membunuh orang orang di dekatku. Pergi dari sini! Pergi! Lekas! Aku tak mau jiwaku yang satunya membunuh kalian! Pergi! (mengacungkan pisaunya ke atas)
Resnaga           : Tidak! Aku tak mau pergi! Karena aku sangat mencintaimu…
Hening sejenak
Kartika             : (Terisak sambil tersenyum getir) Maaf Res.. aku nggak bisa. Ak… aku.. sudah terlanjur membunuh, aku nggak mau ngebunuh Friska, Mama, Malvin dan kau… Kalau kalian tak mau menjauhiku akulah yang harus pergi.  (Menusukkan pisau tersebut ke jantungnya)
Bu Sartika        : TIDAK!!!! (melolong histeris, pingsan)
Tubuh Kartika tersungkur jatuh di lantai. Menusuk dadanya sendiri dengan pisau yang digenggamnya. Antara kehidupan dan kematian ia masih bisa tersenyum menahan sakit. Resnaga segera berlari menghampirinya.
Kartika             : Terimakasih… Ak… aku sayang kali… an semua, khususnya eng…kau Resnaga.. Selamat tinggal. (memejamkan mata perlahan)
Narator            : (Mengutip salah satu surat Kartini yang tidak dipublikasikan namun diubah sebagiaan, suara narator diiringi dentingan gitar, berduka)
Sampai aku menarik napas yang penghabisan, akan tetap aku berterimakasih pada kalian dan mengucap syukur akan kasih kalian kepadaku. Seorang buta yang diperbuat melihat, sekali kali tiada menyesal, matanya dibukakan orang karena bukan barang yang indah indah saja yang menjadi terlihat olehku dan kalian.
SELESAI
Sidoarjo, 27 Juli 2006
Tuk yang mengabdi tanpa menyadari
Alm. RA Kartini
PS : dalam naskah drama ini terdapat beberapa kutipan asli maupun yang diubah untuk dialog dan narasi. Sumber sumber kutipan tersebut :
Buku Habis Gelap terbitlah Terang (Armijn Pnae)
Buku Kartini Sebuah Biografi (Siti Soemandari Soeroto)
Buku Ra Kartini (Tashadi)

No comments:

Post a Comment